Diskusi Publik GP Ansor Kota Probolinggo, Bedah Gelar Pahlawan HM Soeharto

Foto  :  Nara sumber Ketua PW GP Ansor Jawa Timur H. Musaffa Safril dan  Ketua Ansor Kota Probolinggo, Salamul Huda tampak hadir Diskusi Publik di Cafe Asyiq, jl. Mastrip Kota Probolinggo (17/11/2025).

Kota Probolinggo, kabarprobolinggo.com – Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada HM Soeharto mantan Presiden Republik Indonesia ke 2 itu, mencuat ke permukaan publik. 

Dalam penganugrahannya tentang Dwi tunggal  sebagai Bapak Pembangunan serta catatan kelam sejarah di masa orde baru itu dibedah dalam acara diskusi publik Ansor Kota probolinggo . Senin (17/11/2025).

Diskusi publik itu bertema " Antara Bapak Pembangunan dan Gelar Pahlawan Nasional " yang berlokasi di sebuah Kafe Asyiq Kedopok jl mastrip kota probolinggo. 

Dalam diskusi publik itu terjadi perdebatan yang sangat menarik dari salah satu peserta dengan pemaparan pembelaan atas jasa HM Soeharto  kepada bangsa ini selama menjabat 32 tahun lamanya di masa orde baru. 

" Selama 32 tahun kepemimpinan Soeharto sebagai Bapak pembangunan yang tak terbantahkan, meliputi stabilitas politik, keberhasilan swasembada pangan, hingga masifnya pembangunan infrastruktur desa dan industri.Pencapaian yang mulia tersebut layak menjadi pertimbangan kuat bagi penganugerahan gelar kepahlawanan,” paparnya di forum diskusi itu. 

Sementara itu pandangan kritis oleh generasi muda, diwakili Dedi Bayu Angga. Angga menyoroti sisi gelap sejarah, terutama noda HM Soeharto masa Orde Baru soal pengekangan demokrasi, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), dan pembatasan kebebasan sipil.

Menurutnya  gelar pahlawan mustahil diberikan tanpa integritas sejarah yang utuh dan jujur. ”Bangsa ini harus jujur menilai, bukan sekadar memuliakan,” ujarnya.

Ketua Ansor Kota Probolinggo, Salamul Huda kemudian mencoba mengambil peran penengah, melihat sosok Soeharto sebagai dwitunggal, keberhasilan pembangunan yang luar biasa dan kekurangan yang tak terhindarkan dalam konteks kepemimpinan otoriter.

Ia mengingatkan agar generasi saat ini tidak terjebak dalam perangkap glorifikasi buta (pemujaan) maupun demonisasi (penghukuman). Sejarah, katanya, harus dibaca secara dewasa dan proporsional.

Ketua PW GP Ansor Jawa Timur H. Musaffa Safril menggeser fokus perdebatan ke aras yang lebih tinggi, yakni rekonsiliasi kebangsaan. Safril menekankan bahwa bangsa besar adalah yang mampu memaafkan, namun tidak boleh melupakan.

Diskusi ini, menurutnya, harus menjadi jembatan dialog alih-alih jurang polarisasi baru.

”Jika bangsa ini mampu menempatkan jasa dan kekurangan secara proporsional, maka pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto dapat menjadi simbol kedewasaan kolektif,” kata Safril.

Pada akhirnya, para narasumber mencapai kompromi elegan, Gelar pahlawan dapat diterima sebagai langkah rekonsiliasi, asalkan bangsa tetap konsisten memelihara ingatan sejarah.

GP Ansor Kota Probolinggo telah menunjukkan bahwa anugerah kepahlawanan Soeharto bukan lagi sekadar persoalan gelar, tetapi bagian krusial dari proses pendewasaan dan literasi sejarah kebangsaan Indonesia.(*/Bam)

Post a Comment

0 Comments

Info terkini