Kota Probolinggo, kabarprobolinggo.com - Pelantikan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di sejumlah daerah di Indonesia, hampir di setiap pidato kepala daerah terdengar penekanan keras terhadap disiplin dan ancaman pemutusan kontrak bagi PPPK yang tidak menunjukkan kinerja baik. Kalimat yang sekilas tampak sebagai bentuk ketegasan birokrasi, namun sesungguhnya menyimpan ketimpangan rasa keadilan dan makna moral yang dalam.
Ketika seorang pejabat publik menyampaikan bahwa kontrak PPPK dapat tidak diperpanjang bila tidak disiplin, sejatinya kalimat itu lebih bernuansa ancaman daripada pembinaan.
Secara administratif mungkin benar, tetapi dari sisi etika publik, gaya komunikasi semacam itu tidak mendidik dan berpotensi melemahkan semangat pengabdian para aparatur yang baru dilantik.
Keadilan tidak boleh ditentukan oleh status kepegawaian. PNS dan PPPK sama-sama aparatur negara yang bekerja di bawah sumpah yang sama: mengabdi kepada rakyat.
Maka ketika PNS merasa dirinya lebih tinggi hanya karena statusnya "pegawai tetap", dan PPPK diposisikan seperti pegawai percobaan yang mudah diganti, di situlah negara sedang memperlihatkan wajah ketidak adilannya sendiri.
Lebih parah lagi, sebagian PNS merasa diri lebih layak di gaji karena menganggap proses seleksi mereka lebih murni, lebih akademis, dan lebih linear dengan bidang keilmuan. Mereka seakan menuding seleksi PPPK hanya formalitas, sekadar pemerataan kesempatan kerja tanpa kualitas yang setara.
Padahal, pandangan seperti itu adalah bentuk arogansi birokrasi yang menyesatkan. Karena ukuran kelayakan tidak ditentukan oleh seberapa sulit seleksi yang ditempuh, tetapi seberapa nyata hasil kerja dan pengabdian yang diberikan kepada rakyat.
Yang sering dilupakan adalah: baik PNS maupun PPPK, keduanya digaji dari sumber yang sama (APBN dan APBD), dan itu adalah uang rakyat.
Ada petani, nelayan, pedagang, hingga buruh yang bekerja dari pagi hingga malam demi membayar pajak dan menopang roda pemerintahan.
Maka, tidak elok, jika ada aparatur negara yang merasa paling berhak atas gaji yang diterima. Karena sejatinya, yang berhak menilai aparatur yang pantas digaji, adalah"RAKYAT".
Setiap rupiah yang diterima adalah jerih payah rakyat. Maka wajib bagi aparatur untuk menunjukkan kinerja terbaik kepada rakyat. Buktikan bahwa gaji yang diterima itu layak berdasarkan pelayanan dan pengabdian yang nyata.
Negara juga tidak boleh menutup mata bahwa hasil evaluasi kinerja tidak hanya berlaku bagi PPPK, tetapi juga harus diberlakukansecara adil kepada PNS.
Jangan sampai PPPK ditekan dengan ancaman tidak diperpanjang kontrak, sementara PNS yang kinerjanya buruk justru dibiarkan tanpa konsekuensi.
Jika PPPK harus siap menerima pemutusan kontrak karena kinerja, maka PNS pun harus siap menerima evaluasi nyata yang berdampak pada jabatannya. Keadilan birokrasi hanya akan hidup jika evaluasi berlaku sama untuk semua aparatur.
Jika hasil evaluasi menunjukkan kinerja yang kurang baik, baik PNS maupun PPPK. Pemerintah wajib memberikan ruang pembinaan yang setara. Membimbing, mengarahkan, dan memberikan kesempatan untuk memperbaiki diri. Jika setelahnya tidak ada perubahan, barulah tindakan tegas diambil. Bahasa negara harus mendidik, bukan mengintimidasi. ASN tidak boleh dibentuk dengan tekanan, melainkan dengan kesadaran moral dan tanggung jawab kepada rakyat.
Sudah saatnya setiap aparatur menyadari bahwa jabatan bukanlah hak, melainkan amanah. PNS dan PPPK bukan dua kelas yang berbeda, melainkan dua jalan pengabdian yang sama. Keduanya harus berjalan sejajar dalam tanggung jawab moral: melayani rakyat dengan integritas, disiplin, dan keikhlasan.
Negara boleh menegakkan aturan, tapi jangan kehilangan rasa keadilan. Pejabat boleh menuntut disiplin, tapi jangan dengan bahasa ancaman. Karena sejatinya, yang membayar pejabat juga "RAKYAT". Maka bekerja itu untuk rakyat, bukan untuk memuaskan birokrat, bukan untuk menjaga status, tapi untuk menunaikan amanah suci: mengabdi kepada negeri dengan hati nurani.(*/Red)
.jpg)
0 Comments